اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد
Buraidah
Tidak hanya Suraqah bin Malik yang mengincar hadiah seratus ekor unta. Pemimpin Kabilah Banu Sahmin yang bernama Buraidah bin Al Hasib Al Aslami juga keluar mencari beliau. Ia memimpin tujuh puluh orang prajurit dan menyusuri jalan-jalan ke arah Yatsrib. Di suatu tempat, tiba-tiba saja secara kebetulan mereka bertemu rombongan Rasulullah ﷺ.
“Kepung!” perintah Buraidah. Beberapa detik kemudian, tujuh puluh pedang, tombak, dan panah mengurung Rasulullah ﷺ dan memaksa beliau berhenti. Buraidah menegur Rasulullah ﷺ. Beliau pun menjawabnya. Kemudian, sebelum Buraidah sempat bertanya lagi, Rasulullah ﷺ mendahuluinya, “Siapa Anda?”
“Saya Buraidah bin Al Hasib.”
Dengan tenang Rasulullah ﷺ berkata kepada Abu Bakar, “Mudah-mudahan suasana mencekam ini kembali menjadi lebih baik.”
Kemudian, beliau memandang kembali Buraidah dan bertanya, “Dari keturunan siapa Anda?”
“Dari desa Aslam, keturunan Sahmin.”
Kembali Rasulullah ﷺ memalingkan wajahnya ke Abu Bakar dan berkata, “Kita telah selamat dan keluar dari jangkauan panah mereka.”
“Siapakah engkau?” Kali ini Buraidah yang bertanya.
“Saya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib.”
Dengan kehendak Allah ﷻ, saat itu juga Buraidah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk Islam.
Melihat pemimpin mereka memeluk Islam, tujuh puluh orang pasukan pengepung pun mengikuti jejaknya.
Setelah itu, Buraidah dan pasukannya mengawal rombongan Rasulullah ﷺ sampai keluar dari wilayah mereka.
Dalam situasi diburu dan dikejar pun, Rasulullah ﷺ tetap mampu mengumpulkan pengikut, berkat ketenangan, kekuatan iman, dan pertolongan Allah ﷻ.
Penyebaran Islam di Yatsrib
Pesatnya perkembangan Islam di Yatsrib tidak lepas dari jasa Mush’ab bin Umair yang diutus Rasulullah ﷺ ke Yatsrib untuk mengajarkan Islam. Mush’ab yang cerdas dan berhati lembut mampu membuat orang yang memusuhinya menjadi kawan.
Berikut ini adalah salah satu kisah kecemerlangan dakwah Mush’ab bin Umair.
Jauh sebelum Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin Mekah berhijrah, di Yatsrib, Mush’ab bin Umair sedang mengajarkan Islam kepada sekelompok orang di kebun Bani Zafar. Sa’ad bin Muadz tidak senang mendengar berita ini. Ia lalu mendatangi Usaid bin Hudhair. Kedua orang ini adalah para pemimpin kaumnya.
“Usaid temui orang Mekah itu. Dia datang ke daerah kita dan mengajarkan agama baru kepada orang-orang kita. Agama itu bisa membuat orang lemah dan miskin bangkit melawan kita.”
Mendengar itu, Usaid pergi menjinjing tombak ke kebun Bani Zafar. Ditegurnya Mush’ab bin Umair dengan tombak teracung. Namun, Mush’ab berkata tenang, “Maukah kau duduk dulu dan mendengarkan? Kalau kau tidak menyukainya, aku bersedia pergi dari sini.”
Usaid berpikir sejenak, “Baiklah, itu cukup adil.”
Kemudian, ia duduk dan mendengarkan Mush’ab. Semakin lama, hati Usaid makin tertarik. Akhirnya, ia memeluk Islam saat itu juga. Setelah itu, ia menemui Sa’ad bin Muadz.
“Apa? Jadi sekarang justru engkau ikut memeluk agama baru itu?” teriak Sa’ad marah.
Ia pun bergegas menemui Mush’ab sambil menyandang pedangnya. Namun, apa yang terjadi pada Usaid, terjadi pula pada Sa’ad. Begitu mendengar penjelasan Mush’ab tentang Islam, ia begitu tertarik sehingga menjadi Muslim saat itu juga.
Setelah itu, tanpa membuang waktu, ia pergi menemui kaumnya dan berseru, “Hai Banu Abdul Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang diriku?”
“Engkau adalah pemimpin kami, yang paling dekat dengan kami, engkau punya pendapat dan pengalaman yang terpuji.”
Maka kata-katamu, baik wanita maupun pria, bagiku adalah suci selama kalian beriman kepada Allah dan utusan-Nya,” demikian seru Sa’ad bin Muadz.
Sejak saat itu, seluruh suku Abdul Asysal memeluk Islam.
Amr bin Jamuh
Keberanian kaum Muslimin di Yatsrib benar-benar di luar dugaan kaum Muslimin di Mekah. Para pemuda di sana dengan sangat berani mempermainkan berhala-berhala orang-orang yang masih musyrik.
Amr bin Jamuh adalah seorang bangsawan dari Banu Salamah. Ia mempunyai sebuah berhala bernama Manat yang terbuat dari kayu. Setelah itu para pemuda dari Banu Salamah masuk Islam, diam-diam mereka mengambil Manat pada malam hari dan memasukkan berhala kayu itu ke dalam lubang penuh lumpur.
“Manat! Kemana Tuhanku itu?” seru Amr bin Jamuh. Pagi-pagi sekali, ia sudah datang ke tempat penyembahan dan kebingungan mencari Manat yang hilang. Setelah mencari kesana kemari, ia menemukan Manat tersuruk di tempat yang sangat kotor.
Amr segera mengambil, mencuci, dan membersihkan tuhannya itu sampai bersih dan meletakkannya lagi di tempat semula.
“Siapa yang berani mengganggu Manat, akan kutebas lehernya!” ancam Amr bin Jamuh kepada orang-orang disekitarnya.
Namun, pada malam harinya para pemuda Muslim kembali mengambil dan memasukkan Manat ke lubang yang kotor dan berlumpur. Sambil menuduh-nuduh dan memgancam-ancam, Amr bin Jamuh kembali mencuci dan membersihkan tuhannya.
Begitulah terjadi berkali-kali sampai akhirnya rasa kesal Amr bin Jamuh berbalik pada Manat. Amr mengalungkan pedang pada Manat sambil berkata pada tuhannya itu, “Kalau kau memang berguna, bertahanlah! Kusertakan pedang ini bersamamu!”
Keesokan harinya, Amr sudah kembali kehilangan Manat. Ia menemukan tuhannya itu di dalam sumur bersama bangkai seekor anjing. Sementara itu, pedangnya hilang.
“Mengapa kau tidak membela dirimu? Mengapa kau biarkan dirimu terhina?” keluh Amr tidak berdaya.
Beberapa orang pemuka masyarakat yang sudah memeluk Islam mendekati Amr dan memgajaknya berbicara. Saat itu, sadarlah Amr bin Jamuh betapa sesatnya ia selama ini. Setelah itu, tanpa ragu lagi ia memeluk Islam dan menjadi Muslim yang taat.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar