اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد
Memburu Rasulullah ﷺ
Di Mekah, musyrikin Quraisy tampak panik. Para pembesar berkumpul sepagi mungkin. Dengan segera, pasukan berkuda disebar ke beberapa perkampungan seputar Mekah, untuk mencari Rasulullah ﷺ.
“Mengapa Muhammad bisa lolos? Bukankah kita telah mengepung begitu rapat sampai tidak seekor ular gurun pun dapat lolos?” teriak seorang pembesar.
Semua orang terdiam. Mereka berusaha mencari jawabannya. Namun, tidak seorang pun bisa menjelaskan apa yang terjadi.
“Sudahlah, itu tidak penting!” akhirnya seseorang berseru.
“Sekarang yang paling mendesak adalah menemukan Muhammad secepat mungkin! Ada yang punya usul?”
“Panggil pencari jejak paling ahli! Suruh dia melacak jejak Muhammad!”
Usul itu segera dijalankan. Pencari jejak yang amat ahli itu mengikuti jejak yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ. Pasukan bersenjata lengkap mengikuti di belakangnya dengan wajah tidak sabar. Sebagian besar dari mereka adalah para pemuda yang semalam ditugaskan menyergap Rasulullah ﷺ.
Setelah bekerja dengan teliti, pencari jejak itu menarik napas sambil menggeleng, “Jejaknya sudah terhapus oleh orang yang lalu lalang tadi pagi!”
“Gawat!” gemas seseorang. “Apa kau punya usul lain, pencari jejak?”
“Siapa sahabatnya? Kita bisa bertanya kepada sahabat Muhammad yang paling dekat!”
Orang Quraisy saling pandang dan serempak bergumam, “Abu Bakar!”
Dipimpin Abu Jahal, pasukan pencari itu tiba di rumah Abu Bakar. Asma binti Abu Bakarlah yang keluar membukakan pintu.
“Di mana ayahmu?” bentak Abu Jahal.
“Dia pergi dan saya tidak tahu ke mana perginya,” jawab Asma dengan berani.
“Jangan berdusta! Katakan ke mana perginya?”
“Saya tidak tahu! Di rumah hanya ada ibu dan saudari saya.”
“Ah, terlalu!” sambil bersungut, Abu Jahal menampar wajah Asma keras-keras.
Sarang Laba-Laba
Ketika mereka keluar kota dan menjajaki beberapa jalan, sang pencari jejak menemukan jejak mencurigakan. Kemudian, satu kelompok pasukan berkuda mengikuti jejak itu sampai tiba di kaki Gunung Tsur. Namun, di situ jejak terputus. Mereka kebingungan.
“Ke mana arah kita? Ke kanan atau ke kiri?” tanya komandan pasukan. “Apakah Muhammad masuk ke dalam gua itu atau terus mendaki ke puncak?”
“Aku tidak tahu,” geleng si Pencari Jejak.
Namun, lewatlah seorang gembala dan mereka menanyainya.
“Mungkin saja mereka ke dalam gua itu,” jawab sang gembala.
“Tapi aku tidak melihat ada orang yang menuju ke sana.”
Di dalam gua, keringat dingin Abu Bakar keluar, ketika mendengarnya,
“Bagaimana kalau mereka sampai masuk ke dalam sini? Bukan keselamatanku yang aku khawatirkan, melainkan keselamatan Rasulullah!” kata Abu Bakar dalam hati.
Beberapa pemuda naik dan melongok-longok ke mulut gua. Jantung Abu Bakar hampir lepas. Ia berbisik, “Ya Rasulullah, kalau ada yang menengok ke bawah, pasti kita akan terlihat.”
Rasulullah ﷺ menjawab mantap, “jangan takut Abu Bakar, sesungguhnya Allah bersama kita.”
Para pemuda itu turun, kembali ke pasukannya.
“Mengapa kalian tidak masuk ke dalam gua?” tanya komandan mereka dingin.
“Gua itu tertutup sarang laba-laba! Tidak mungkin Muhammad masuk ke dalam tanpa merusaknya!”
“Lagi pula ada dua ekor merpati hutan bersarang tepat di mulut gua!” lapor yang lain. “Jika Muhammad ﷺ masuk ke dalam, sarang itu juga pasti akan rusak.”
Komandan pasukan mengalihkan mukanya ke arah lain sambil menghela napas, “Baiklah, naik kudamu! Kita cari ke arah lain!” Pasukan pun menjauh.
Sarang laba-laba dan burung merpati yang menutupi gua itu adalah pertolongan yang diberikan Allah ﷻ. Padahal sebelum Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar masuk, tidak ada laba-laba dan burung merpati yang bersarang.
Selain laba-laba dan burung merpati, di mulut gua juga mendadak tumbuh sebatang pohon yang menghalangi sebagian jalan masuk.
Di dalam, Abu Bakar menarik napas lega. Keimanannya kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ semakin bertambah kuat.
Perjuangan Anak Muda
Abdullah bin Abu Bakar dan saudarinya, Asma binti Abu Bakar, masih muda ketika mereka membantu hijrah Rasulullah ﷺ dan ayah mereka. Abdullah bertugas mencari berita di tengah kaum Quraisy, sedangkan Asma mengirimkan makanan ke gua. Itulah ciri khas para pemuda Muslim sepanjang zaman. Mereka tidak hanya tekun beribadah ritual, tetapi juga mengerahkan seluruh kesanggupanya untuk berjuang.
Menenteramkan Kakek
Abu Quhafah adalah ayah Abu Bakar. Dia buta. Setelah Abu Bakar hijrah, Abu Quhafah mendatangi Asma. Sang kakek khawatir Abu Bakar tidak meninggalkan sepeser pun untuk putrinya.
Memang demikian, karena Abu Bakar membawa semua uangnya untuk perjuangan Islam di Madinah.
Asma membungkus batu dan berkata, Ayah telah meninggalkan banyak uang untuk kami. Abu Quhafah meraba batu itu dan hatinya tentram karena ia menyangka Abu Bakar memang meninggalkan uang yang banyak.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar