Kamis, 14 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 97


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد


Tergiur Harta

Kaum muslimin terus mengejar musuh ke mana pun sampai mereka meletakkan senjata. Harta benda dan rampasan berserakan di medan pertempuran. Kuda-kuda yang tangguh, Baju besi, unta-unta tanpa tuan berkeliaran penuh muatan, setumpuk makanan lezat, dan perhiasan-perhiasan mahal, Belum lagi para wanita Quraisy yang dengan mudah dapat mereka tawan.

Harta sebanyak itu dalam sekejap saja membuat silau pasukan muslim. Harta yang berserakan itu membuat mereka lupa bahwa sesuai dengan perintah Rasulullah ﷺ, mereka harus terus mengejar musuh sampai kekuatan lawan benar-benar tercerai-berai sehingga tidak mampu berkumpul lagi untuk balas menyerang.

Semua ini terlihat oleh pasukan panah di lereng gunung. Mereka tidak dapat lagi menahan keinginan untuk juga merebut harta rampasan yang bergeletakan di mana-mana.

“Mengapa kita masih tinggal di sini, saya akan tidak mendapatkan apa-apa?” tanya salah seorang.

“Allah telah menghancurkan musuh kita, mereka, saudara-saudara kita juga sudah merebut markas musuh. Ke sanalah juga kita ikut mengambil rampasan itu.”

Namun salah seorang membentak:

“Bukankah Rasulullah ﷺ sudah berpesan “Jangan meninggalkan tempat kita ini?”
“Sekali pun kami diserang, janganlah kami dibantu!” Bukankah demikian kata beliau?”

“Rasulullah ﷺ tidak menghendaki kita tinggal di sini terus menerus setelah Allah menghancurkan kaum musyrik itu.”

Abdullah bin Jubair maju untuk menengahi perdebatan itu. Ia berpidato agar mereka itu jangan melanggar perintah Rasulullah ﷺ.
Akan tetapi ada sebagian besar pasukannya tidak mau patuh. Mereka pun kemudian turun dari lereng gunung yang masih tinggi. Yang masih tinggal hanya beberapa orang saja. Pasukan yang bergegas turun itu bergabung dengan pasukan muslim yang lain. dan ikut memperebutkan harta rampasan.

Jadi sebagian besar pasukan panah sekarang sudah melupakan disiplin. Mereka lupa kalau kedisiplinan dan keimanan lah yang membuat mereka mampu memukul musuh. Kini mereka tengah melupakan iman dan memperebutkan harta dunia.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh seorang pemimpin Quraisy yang terkenal lihai dan gagah.


Bencana

Khalid bin Walid yang sampai saat itu telah menjaga pasukannya agar tidak bentrok dalam pertempuran, kini melihat kesempatan baik itu. Ia mengerti bahwa saatnya tiba untuk bergerak. Khalid bergerak sekuat-kuatnya memberi Komando. Pasukan berkudanya pun mulai bergerak. Semakin cepat dan semakin cepat. Mereka memutari gunung Uhud yang kini tidak dijaga lagi oleh pasukan panah. Dengan ganas pasukan kavaleri Khalid menyerang pasukan muslim dari belakang.

Mendengar teriakan perang Khalid bin Walid, pasukan Quraisy yang telah berlarian mundur kini kembali lagi. Mereka melihat kesempatan untuk menyerang balik saat itu. Mereka ingat untuk tidak membiarkan harta dan kaum wanita mereka direbut pasukan muslim.

Kini keadaan jadi berbalik, giliran pasukan muslim yang mendapat pukulan sangat hebat.
Begitu tahu mereka diserang dari depan dan belakang, setiap muslim melemparkan harta yang telah mereka kumpulkan, dan kembali mencabut pedang. Namun sayang, sayang sekali! Barisan Muslim sudah pontang-panting. Komandan-komandan kesatuan muslim sudah tidak lagi melihat pasukannya, ada di dekat mereka. Pasukan muslim yang tadinya berjuang untuk menyelamatkan Iman, kini berjuang tercerai-berai untuk menyelamatkan diri. Tadinya mereka berjuang di bawah satu pemimpin yang kuat, kini berjuang tanpa pemimpin lagi.

Begitu paniknya keadaan pasukan muslim sampai beberapa dari mereka malah menghantam saudaranya sendiri dengan pedang. Keadaan tambah mengguncangkan Iman ketika mendengar ada yang berteriak-teriak, “Rasulullah telah terbunuh, Rasulullah telah terbunuh !”

Hampir setiap orang pasukan muslim sekarang berusaha melepaskan diri dari kepungan di tempat aman. Kecuali beberapa sahabat yang tetap berjuang dengan istiqomah dari awal, seperti Ali bin Abi Thalib dan beberapa orang lainnya.

**Di kemudian hari, Khalid bin Walid akan masuk Islam pada zaman Abu Bakar pada saat terjadi pemberontakan di mana-mana.
Abu Bakar mengangkat Khalid menjadi Panglima seraya berkata,

“Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda bahwa sebaik-baik hamba Allah dan Kawan sepergaulan ialah Khalid bin Walid, sebilah pedang di antara pedang-pedang Allah yang ditembuskan kepada orang-orang kafir dan munafik.


Bersambung...

Senin, 11 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 96


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد



Syahidnya Hamzah

Di kemudian hari, ketika ia sudah memeluk Islam, Wahsyi menceritakan peristiwa Uhud dengan air mata duka dan penyesalan.

“Setelah dijanjikan hadiah dan kebebasan, aku berangkat bersama pasukan Quraisy. Aku adalah orang Habasyah yang jika sudah melemparkan tombak dengan cara Habasiyah, jarang sekali meleset.

Ketika terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia. Kemudian, kulihat dia di tengah-tengah orang banyak itu, seperti seekor unta kelabu sedang membabati orang dengan pedangnya. Lalu tombak ku ayun-ayun kan, dan setelah merasa pasti sekali arah sasaran, baru kulemparkan tombak itu tepat mengenai bagian bawah perut Hamzah dan keluar di antara kedua kakinya. Kubiarkan tombak itu sampai dia mati. Sesudah itu ku hampiri dia dan ku ambil tombak ku itu, lalu aku kembali ke markas dan berdiam di sana sebab sudah tidak ada lagi tugas selain itu. Kubunuh dia hanya supaya aku dimerdekakan saja dari perbudakan. Sesudah pulang ke Mekah, aku memang dimerdekakan.”

Hamzah bin Abdul Muththalib adalah pahlawan Arab yang terkenal dan paling berani. Pada Perang Uhud itu, ia yang menjelma menjadi singa Allah yang perkasa.
Dibunuhnya Artha bin Abdul Syurahbil dan beberapa orang pemuka Quraisy lainnya. Setiap lawan di hadapannya dirobohkan dengan pedangnya dan setelah itu dihadapinya lawan yang lain.

Pada akhir pertempuran dengan tergesa-gesa Hindun mendatangi jasad Hamzah. Wanita itu kemudian mengambil jantung Hamzah dan memakannya begitu saja, sambil menari-nari.

Tubuh Hamzah ditemukan Rasulullah ﷺ dalam keadaan tercabik-cabik.

Kaum muslimin bertempur dengan gagah, tapi tidak semuanya mendapatkan surga.
Contohnya adalah Qusman. Ia adalah seorang munafik. Semula, Ia tidak berangkat perang, tetapi para wanita menghinanya.

“Qusman tidak malu kau seperti perempuan saja, semua orang berangkat perang, sedang kau berdiam diri dalam rumah!”

Dengan berang Qusman mengambil panah dan pedang, lalu pergi bertempur. Ia bertempur dengan gagah dan berhasil membunuh banyak sekali lawan. Menjelang senja, setelah membunuh paling sedikitnya 7 orang musuh, ia pun membunuh dirinya.

“Qusman, beruntung engkau mati syahid,” ujar Abdul Khaidaq melihat Quzman sekarat.

“Tidak, jawab Qusman sebelum mati,
“Saya bertempur bukan demi Islam tapi sekedar menjaga kehormatan saya dan untuk menjaga nama baik keluarga kami. Kalau tidak karena itu, saya tidak akan berperang.”


Quraisy Terpukul

Kemenangan kaum muslimin dalam Perang Uhud pada pagi hari itu benar-benar di luar dugaan. Benar sekali bahwa kemenangan pada pagi itu disebabkan kepandaian Rasulullah ﷺ dalam mengatur pasukannya. Beliau yang menempatkan pasukan panah di bukit, hingga barisan berkuda musuh tertahan tidak bisa maju.

Lebih tepat lagi jika dikatakan bahwa kemenangan pagi itu disebabkan keimanan yang sungguh-sungguh. Pasukan muslim begitu yakin bahwa mereka berada di pihak yang benar, sehingga walaupun dengan perlengkapan yang minim, mereka dapat mendesak pasukan musuh yang hampir 5 kali lipat lebih kuat. Inilah rahasia mukjizat kepahlawanan yang tidak bisa digunakan oleh kekuatan materi sebesar apa pun.

Kesatuan-kesatuan Quraisy yang sudah kelabakan mulai mundur.
Abu Sufyan terpaksa mengumpulkan pasukannya di bagian tengah.
Sayap kiri di bawah pimpinan Ikrimah sudah berlarian mundur.

Hanya Khalid bin Walid dan pasukannya di sayap kanan yang masih menjaga diri di tempat yang agak jauh. Kelihatannya, Khalid masih menghindarkan diri dari bentrokan dan ia menunggu kesempatan baik untuk melancarkan serangan.

Kenangan pahit akan kekalahan Badar tiba-tiba terlintas lagi di benak para prajurit Quraisy yang berlarian mundur. Pasukan muslim mendesak terus sampai ke jantung pertahanan musuh.

Saat seorang pembawa bendera Quraisy jatuh bersimbah darah, orang lain segera menggantikannya. Namun, Ia juga segera ditebas jatuh. Orang ketiga tampil bertahan tetapi tidak lama kemudian Ia pun segera jatuh tak bernyawa.

Hindun berteriak-teriak memberi semangat dan berusaha mencegah orang-orang yang mundur.
Pasukan Quraisy sudah tidak ingat lagi, bahwa mereka dikerumuni para wanita. Sudah tidak peduli lagi melihat berhala-berhala yang mereka bawa agar memberikan restunya, tetapi malah terjatuh dari atas unta.

Pasukan Quraisy tidak lagi memusingkan kenyataan bahwa wanita-wanita mereka akan tertawan dan harta benda mereka yang jumlahnya melimpah itu akan dirampas musuh. Semua dihantui rasa takut, Mundur! Mundur! Selamatkan diri ke tempat aman. Hanya itu yang mereka pikirkan.

Sayang sekali, Justru pada saat itulah pasukan muslim melakukan kesalahan fatal.


Bersambung...

Minggu, 10 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 95


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد



Kedua belah pihak kini sudah siap bertempur. Masing-masing sudah menyiapkan seluruh kekuatan terbaiknya kepada lawan.
Yang selalu teringat oleh orang-orang Quraisy adalah peristiwa Badar dan korban-korbannya. Sementara itu yang selalu teringat oleh kaum Muslimin adalah Allah serta pertolongan-Nya.

Rasulullah ﷺ berpidato di hadapan pasukannya dan memberi semangat dalam menghadapi pertempuran. Beliau berjanji bahwa pasukannya akan mendapatkan kemenangan, asalkan mereka tabah.

Beliau kemudian mencabut sebilah pedang, mengacungkannya, dan bertanya,

“Siapa yang sanggup memegang pedang ini agar diperlakukan sesuai dengan tugasnya?”

Beberapa orang tampil, tetapi pedang itu tidak pula diberikan Rasulullah ﷺ. Siapakah kiranya pendekar muslim yang mendapatkan kehormatan untuk menggunakan pedang Rasulullah ﷺ tersebut?

Abu Dujanah

Kemudian tampillah Abu Dujanah Simak bin Kharasyah dari Banu Sa’idah. Ia bertanya,

“Apa tugasnya, ya Rasulullah?”

“Tugasnya ialah menghantamkannya kepada musuh sampai bengkok!” demikian jawab Rasulullah ﷺ.”

Ketika Abu Dujannah menyanggupi, Rasulullah ﷺ pun memberikan pedang itu kepadanya. Abu Dujanah adalah laki-laki yang sangat berani. Ia mengeluarkan pita merah, lalu teman-temannya bergumam,

“Lihat Abu Dujanah telah mengeluarkan pita mautnya!”

Semua orang mengetahui bahwa Abu Dujanah sudah siap bertempur apabila ia telah mengeluarkan pita merahnya itu. Pita itu diikatkan di kepala, kemudian ia berjalan dengan angkuh dan berlagak di tengah-tengah pasukan seperti yang biasa ia lakukan apabila sudah siap menghadapi pertempuran.

Rasulullah ﷺ melihat perilaku Abu Dujanah itu kemudian bersabda,

“Cara berjalan seperti itu sangat dibenci Allah, kecuali dalam pertempuran seperti ini.”

Rasulullah ﷺ memberikan kepercayaan kepada Mushab bin Umair untuk memegang bendera pasukan. Hamzah bin Abdul-Muththalib berada di barisan terdepan didampingi Abu Dujanah, Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqqash, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.

Orang pertama yang mencetuskan pertempuran adalah Abu Amir Abdul Hamid bin Shaifi Al Ausi. Ia sebenarnya berasal dari suku Aus, tetapi sengaja pindah dari Madinah ke Mekkah untuk mengobarkan semangat Quraisy agar memerangi Rasulullah ﷺ. Ia tidak ikut dalam Perang Badar. Kini a terjun dalam Perang Uhud dengan membawa limabelas orang dari suku Aus. Selain itu beberapa budak penduduk Mekah juga bergabung dengan regunya.

Abu Amir maju ke depan dan memanggil-manggil kaum muslimin dari golongan Aus. Menurut dugaannya, orang-orang Islam dari Aus itu akan menuruti panggilannya dan memihak Quraisy.

“Saudara-saudara dari Aus! Saya adalah Abu Amir!” demikian panggilnya berkali-kali.
Akan tetapi, kaum muslimin dari kalangan Aus membalas dengan teriakan pula,

“Allah tidak akan memberikan kesenangan kepadamu, durhaka!”

Kemudian pertempuran pun pecah!

Rasulullah ﷺ bersabda,

“Ditempatkan di bagian terdepan dari jalan Allah selama 1 hari lebih baik daripada dunia dan segala isinya!” Beliau juga berkata,

“Setiap orang yang gugur telah menyelesaikan tugas sepenuhnya, kecuali orang yang berada di bagian terdepan dari jalan Allah karena amalnya akan terus bertambah sampai hari kebangkitan.”

Pertempuran

700 orang beriman melawan 3000 orang musyrik!

Sayap kiri Quraisy yang terdiri atas pasukan Pemuda dan Kavaleri pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal pun bergerak maju. Mereka berusaha menyerang pasukan muslim dari samping.
Namun, pasukan pemanah muslim menghujani mereka dengan panah dan batu. Abu Amir dan para pengikutnya dibuat mundur tunggang-langgang.

Saat itu Hamzah bin Abdul-Muththalib terjun ke tengah pertempuran sambil meneriakkan teriakan tempur Uhud yang terkenal. “Mati! Mati!”

Tholhah bin Abu Talhah yang membawa Bendera Quraisy berteriak,
“Siapa yang akan berduel denganku?”

Ali bin Abi Thalib pun maju. Dengan tangkas dan sangat cepat. Ali menebas lawannya itu sampai terbelah dua. Melihat hal itu Rasulullah ﷺ menjadi lega.
Seketika, takbir pun berkumandang dari barisan muslimin. Rasulullah ﷺ memerintahkan pasukan muslim melancarkan serangan.

Abu Dujanah mengamuk! Dibunuhnya setiap lawan. Barisan orang musyrik jadi kacau balau. Kemudian ia melihat seseorang sedang mencincang tubuh seorang muslim dengan amat keji.

Amarah Abu Dujanah bangkit! Ia melompat dan hendak menebas orang itu dengan sekali ayunan. Tapi saat itu dilihatnya sasarannya ternyata Hindun bin Utbah. Abu Dujanah mundur dan menyerang ke arah lain. Terlalu mulia rasanya apabila Pedang Rasulullah ﷺ dihantamkan pada seorang wanita.

Orang-orang Quraisy pun balas menyerang dengan sangat keras. Darah mereka mendidih mengingat kematian para pemimpin mereka pada Perang Badar. Di belakang mereka, kaum wanita mengorbankan semangat.

Tidak sedikit para budak yang akan dijanjikan kebebasan apabila berhasil membalaskan dendam kematian seorang bapak, saudara suami, atau orang orang tercinta dari majikan mereka.

Hindun bin Utbah sangat mendendam kepada Hamzah. Ia telah menjanjikan hadiah besar dan kebebasan kepada seseorang budak apabila berhasil membunuh Hamzah. Kini, Wahsyi mulai menjalankan tugasnya. Ia mengendap dengan lincah ke sana kemari untuk mencari di mana Hamzah bin Abdul-Muththalib berada.

Bersambung

Sabtu, 09 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 94


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Baju Perang Rasulullah

Selepas sholat Asar, Rasulullah ﷺ masuk ke rumah untuk mempersiapkan diri. Abu Bakar dan Umar membantu Rasulullah ﷺ mengenakan sorban, pedang, dan baju besi. Ketika Rasulullah ﷺ di rumah para sahabat di luar sedang ramai kaum muslimin bertukar pikiran.
Usaid bin Hudair dan Saad bin Muadz adalah orang yang berpendapat bahwa lebih baik bertahan di dalam kota.

Mereka pun berkata kepada kaum muslimin yang berniat menyongsong musuh ke luar.

“Tuan-tuan mengetahui, Rasulullah ﷺ berpendapat mau bertahan dalam kota namun tuan-tuan berpendapat lain lagi dan memaksa beliau bertempur ke luar. Padahal lihatlah Rasulullah ﷺ agak enggan melaksanakan strategi itu. Serahkan sajalah soal ini ke tangan Beliau. Apa yang diperintahkan-nya kepadamu, jalankanlah!”

Mendengar kata-kata itu, sikap para pemuda yang ingin menyongsong musuh pun melunak. Mereka sadar bahwa mereka telah menentang pendapat Rasulullah ﷺ, padahal sangat mungkin pendapat Rasulullah ﷺ itu datang dari Allah. Maka ketika Rasulullah ﷺ telah keluar rumah sambil mengenakan baju besi, mereka berkata,

“Rasulullah bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Kami tahu bahwa kehendak tuan mungkin berasal dari Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.

“Ke dalam pembicaraan semacam inilah saya ajak tuan-tuan, tetapi tuan-tuan menolak,” demikian jawab Rasulullah ﷺ.

“Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali sebelum Allah memberikan putusan antara dirinya dan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, kemudian ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.”

Demikianlah, Rasulullah ﷺ selalu memegang keputusan hasil musyawarah, keputusan seperti itu tidak dapat dibatalkan oleh keinginan-keinginan tertentu. Keputusan hasil musyawarah harus dilaksanakan dengan cara sebaik-baiknya.

Lalu berangkatlah kaum muslimin dipimpin oleh Rasulullah ﷺ ke arah Uhud. Di suatu tempat bernama Syaikhan dia berhenti. Dilihatnya dari kejauhan di atas pasukan tentara yang belum dikenal, siapakah mereka itu? lawan atau kawan?

Kaum Muslimin Berangkat

Seseorang kemudian memberitahu Rasulullah ﷺ,
“Itu adalah orang-orang Yahudi sekutu Abdullah bin Ubay.”

Rasulullah ﷺ bersabda,
“Jangan meminta pertolongan orang-orang kafir dalam melawan orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam.”

Rasulullah ﷺ memerintahkan pasukan Yahudi itu pulang ke Madinah. Sebelum pulang, orang-orang Yahudi itu berkata kepada Abdullah bin Ubay,

“Kau sudah menasehati Muhammad dan Kau Berikan pendapatmu berdasarkan pengalaman orang-orang tua dahulu. Sebenarnya, dia sependapat denganmu lalu ia menolak dan menuruti kehendak pemuda-pemuda yang menjadi pengikutnya.”

Abdullah bin Ubay senang sekali mendengar pendapat itu.

“Memang betul,” demikian pikir Abdullah bin Ubay, aku sudah menasehati Muhammad dan dia tidak menurut, jadi sudah sepantasnya jika aku tidak ikut dalam perang ini.

Kemudian Abdullah bin Ubay mulai menghasut dan menyebarkan desas-desus untuk membuat hati sebagian orang menjadi ragu.

Keesokan harinya Abdullah bin Ubay berhasil mempengaruhi 300 pengikutnya agar menarik diri dari pasukan Rasulullah ﷺ dan kembali ke Madinah menyusul pasukan Yahudi.
Kini tinggal Rasulullah ﷺ beserta 700 orang sahabat yang melanjutkan perjalanan ke gunung Uhud untuk menyongsong musuh.

“Bersabarlah, Bersabarlah,” demikian nasihat Rasulullah ﷺ kepada para sahabat yang tetap bersamanya.

Saat itu pasukan muslimin sebenarnya sangat membutuhkan kuda, tapi Abdullah bin Ubay telah menggiring sebagian besar kuda dan dibawa pulang. Kini mereka semakin dekat ke Uhud.

Pagi-pagi sekali, sebelum musuh terbangun, pasukan muslimin bergerak maju ke Uhud dan memotong jalan sedemikian rupa, sehingga musuh berada di belakang mereka.
Dengan strategi itu pasukan muslimin lebih dulu tiba di Gunung Uhud sehingga bisa lebih leluasa menempatkan pasukan.

“Bersabarlah, Bersabarlah,” demikian nasehat Rasulullah ﷺ kepada para sahabat yang tetap bersamanya.

Dalam Perang Badar pihak muslim hanya memiliki 3 ekor kuda ini berarti satu kuda untuk setiap 100 orang namun berkat usaha keras Nabi dalam waktu 7 tahun pasukan muslim memiliki 10.000 ekor kuda untuk setiap 30.000 tentara berarti satu kuda untuk setiap 3 orang.

Penempatan Pasukan Panah

Rasulullah ﷺ segera mengatur barisan para sahabat. Beliau menempatkan 50 pemanah di lereng gunung, kepada mereka Rasulullah ﷺ memberi perintah,

“Lindungi kami dari belakang. Bertahanlah kamu, jangan pernah meninggalkan tempat ini. Kalau kalian melihat kami dapat menghancurkan mereka sehingga dapat memasuki pertahanannya, kamu jangan meninggalkan tempatmu. Jika kamu melihat kami yang diserang, jangan pula kami dibantu, juga jangan kami dipertahankan. Tugas kamu adalah menghujani pasukan berkuda mereka dengan panah. Dengan serangan panah itu pasukan berkuda tidak dapat maju.”

Selain pasukan pemanah, Rasulullah ﷺ memerintahkan agar pasukan yang lain tidak menyerang siapa pun, sebelum Beliau memberi perintah menyerang.

Pasukan Quraisy yang tiba belakangan, juga segera menyusun barisan. Sayap kanan dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedangkan sayap kiri dikomando Ikrimah bin Abu Jahal. Pasukan utama di tengah dipimpin oleh Abu Sufyan dan benderanya dipegang oleh Abdul Uzza Talhah bin Abi Talhah.

Wanita-wanita Quraisy yang memukul genderang dan rebana berjalan di tengah-tengah barisan itu. Kadang mereka di depan dan kadang di belakang. Hindun binti Utbah Istri Abu Sufyan berteriak-teriak,

“Ayo Banu Abdul Dar, Ayo! ayo! Pengawal barisan belakang! hantamlah dengan segala yang tajam!”

Bersambung

Jumat, 08 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 93


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Semangat Quraisy

Semangat membalas dendam menyala berkobar-kobar di hati setiap tentara Quraisy. Apalagi, mereka ingin memamerkan kemampuan tempur di hadapan bunga-bunga Quraisy yang kini terus menyanyi mengorbankan semangat. Genderang bertalu-talu dan wewangian nan semerbak merebak. Belum pernah sebelumnya orang-orang Quraisy berangkat perang dengan tekad sekuat ini.

Di depan, Abu Sufyan memegang komando. Dua pasukan berkuda kavaleri yang dipimpin Khalid bin Walid dan Ikrimah Bin Abu Jahal mengawali sisi kiri dan kanan.

Di dusun Abwa, beberapa prajurit Quraisy hampir saja membongkar kuburan Aminah, ibunda Rasulullah ﷺ. Untung para Pembesar Quraisy segera datang dan melarang.

“Nanti mereka juga akan membongkar makam-makam kita,” cegah pembesar itu.

Pasukan tersebut terus bergerak semakin dekat ke Madinah, mereka sudah siap beraksi bagai angin puyuh yang akan menerjang. Angin puyuh yang diliputi nyala api kemarahan dan angan-angan kemenangan yang memabukkan.
Mereka mendekati Madinah dari dataran tinggi. Di tempat itu, gunung Uhud yang kasar menggunduk bagai makhluk besar yang siap menerkam.

Kaum muslimin di Madinah pasti akan sangat terkejut, jika mereka tidak mengetahui meningkatnya pasukan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak daripada pasukan yang pernah mereka taklukan di Badar. Apakah kaum muslimin mengetahui gerakan ini?
Jika mereka mengetahui, strategi apa yang akan dilakukan Rasulullah ﷺ ? Akankah beliau memimpin kaum muslim bergerak menyongsong musuh atau bertahan di Madinah?

Kaum Muslimin Bermusyawarah

Paman Rasulullah ﷺ , Abbas bin Abdul Muthalib ikut dalam pasukan Quraisy itu. Ia memang masih mencintai agama nenek moyangnya, tapi hatinya sudah semakin kagum kepada keponakannya itu. Abbas ingat ketika ia diperlakukan dengan baik sebagai tawanan pada Perang Badar.

Karena itulah sebelum pasukan Quraisy berangkat, diam-diam Abbas mengirimkan surat kepada seorang Bani Ghifar untuk disampaikan kepada Rasulullah ﷺ. Surat ini berisi berita pemberangkatan pasukan Quraisy.

Seorang utusan Abbas memberitakan keberangkatan Quraisy kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ segera mengajak para sahabat bermusyawarah.
Kita akan pergi ke luar kota atau menyongsong di dalam kota. Abdullah bin Ubay mengatakan ingin bertahan di dalam kota.

Musyawarah membuat semua orang jadi mengetahui sepenuhnya bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Hal itu akan membuat anggota pasukan saling mempercayai. Setiap orang akan menganggap dirinya benar-benar bagian dari pasukan, sehingga mampu berjuang saling bahu-membahu.

Keberanian Para Pemuda

Para sesepuh Anshor angkat bicara,

“Ya Rasulullah, tetaplah tinggal di Madinah. Jangan pergi menghadapi musuh karena itu berarti musuh sudah menang. Andaikata musuh yang datang menyerbu, kita pasti yang menang. Biarkan saja mereka di sana mengepung kita. Jika mereka memaksakan diri bertahan, berarti mereka justru berada dalam keadaan merugikan diri sendiri.”

Sebetulnya, Rasulullah ﷺ ingin agar kaum Muslimin menyepakati usul ini. Para sesepuh Anshor yang telah berjuang mempertahankan kota selama puluhan tahun tentu tahu benar bahwa mereka lebih baik bertahan di dalam kota.
Namun tidak demikian halnya dengan para pemuda Muslim yang semangatnya sedang menyala-nyala. Mereka terpukau atas kemenangan 300 orang sahabat Rasulullah ﷺ menghadapi 1000 orang musuh pada Perang Badar.

Sebenarnya, Rasulullah ﷺ memang cenderung pada pendapat para sesepuh Anshar itu. Akan tetapi, di balik itu, Rasulullah ﷺ juga mengetahui bahwa apabila mereka bertahan di dalam kota, sangat mungkin akan terjadi penghianatan dari kaum munafik atau orang Yahudi.

Tiba-tiba Bilal mengumandangkan adzan.
Rapat perang pun dihentikan dan Rasulullah ﷺ memimpin mereka melaksanakan shalat Jum’at. Khutbah Rasulullah ﷺ kali itu berisi ajakan agar kaum muslimin menabahkan hati untuk memperoleh kemenangan. Kemudian dimintanya kaum muslimin bersiap menghadapi musuh.

Setelah sholat Jumat, rapat dilanjutkan lagi, Saad bin Khaitsama berkata,

“Semoga Allah memberikan kemenangan atau mati syahid.
Dalam perang Badar saya amat mendambakan mati syahid, tapi ternyata meleset. Justru anak saya yang mendapatkannya. Semalam, saya bermimpi bertemu dengan anak saya dan dia berkata, “Ayah susullah kami dan kita bertemu di dalam surga.” Sudah saya dapatkan apa yang dijanjikan Allah kepada saya.”
“Ya Rosulullah, sungguh rindu saya akan menemui anak saya di dalam surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya ingin bertemu Allah.”

Kata-kata itu semakin menguatkan semangat kaum Muslimin untuk menyongsong musuh ke luar kota.

“Saya khawatir kamu akan kalah jika pergi ke luar kota,” demikian sabda Rasulullah ﷺ .

Namun suara terbanyak kaum muslimin adalah agar mereka menyongsong musuh. Rasulullah ﷺ pun segera mengetahui keputusan mana yang akan diambil.

Setiap pemuda tentulah tidak sama. Pemuda yang berangan-angan memiliki mobil mewah uang yang banyak dan hidup berfoya-foya dengan pemuda yang bertekad buat dan kuat untuk mewujudkan kemenangan serta kemuliaan Islam.


Bersambung ...

Kamis, 07 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 92


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Kesedihan Umar

Setelah perang Badar, beberapa wanita menjadi janda karena suaminya gugur. Rasulullah ﷺ berusaha meringankan beban para wanita itu dengan memberikan santunan dari hasil rampasan perang. Bagi wanita yang masih muda, Rasulullah ﷺ berusaha menikahkan mereka dengan sahabat lain yang mampu.

Hafshah putri Umar Bin Khattab, adalah salah seorang wanita muda yang ditinggali suaminya yang telah syahid. Umar tentu sangat sedih memikirkan nasib putrinya. Maka, ia pun pergi menemui Utsman bin Affan dan bertanya apakah Utsman bersedia menikahi Hafshah?

“Maaf, saya sedang tidak bersedia untuk menikah lagi.” demikian jawab Utsman.

Umar kemudian mendatangi Abu Bakar dan bertanya apakah Abu Bakar bersedia menikahi Hafshah. Namun, Abu Bakar diam saja. Dengan sedih, Umar Bin Khattab menemui Rasulullah ﷺ dan mengadukan nasib Hafshah serta penolakan kedua sahabatnya itu.

Rasulullah ﷺ tersenyum menghibur,
“Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Abu Bakar dan Utsman.”

Umar Bin Khattab menatap Rasulullah tidak mengerti. Siapakah yang lebih baik daripada Abu Bakar dan Utsman?

Ternyata, Rasulullah sendiri yang melamar Hafshah.

Subhanallah, saat itu juga, perasaan Umar Bin Khattab meluap dengan kegembiraan yang tidak terlukiskan. Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu Abu Bakar dan menyampaikan berita gembira itu.

Abu Bakar berkata:
“Memang, Rasulullah sudah pernah membicarakan hal itu kepadaku. Karena itu, aku tidak ingin membuka rahasianya. Andaikata saja beliau tidak meminang Hafshah, sudah tentu akulah yang akan memperistrinya,” demikian jawab Abu Bakar.

Setelah Hafshah menjadi istri Rasulullah ﷺ maka saat itu Ibu kaum muslimin pun menjadi tiga orang:

Saudah, Aisyah, dan Hafshah. Rasulullah ﷺ menetap di tempat ketiganya secara bergantian.
Pada pagi hari, mereka semua berkumpul untuk mendengar nasihat Rasulullah ﷺ.
Pada sore harinya, mereka kembali berkumpul dan menceritakan semua yang mereka alami hari itu. Hal demikian menambah indah suasana rumah Rasulullah ﷺ.

Sejak saat itu Umar Bin Khattab dengan gencar menganjurkan para sahabat yang lain agar mau menikahi para janda syuhada.

Persiapan Perang Quraisy

Rasa geram dan gelisah terus menghantui perasaan orang-orang Quraisy di Mekah sejak kekalahan Badar. Akhirnya para pembesar mereka berkumpul di Darun Nadwah.

“Kafilah dagang yang tersisa lebih baik kita jual! Sebagian keuntungannya kita sisihkan untuk menyiapkan Angkatan Perang agar kita bisa memukul Muhammad!” demikianlah usul seorang pembesar.

Usul itu pun diterima dengan suara bulat.

Rapat-rapat perang terus diadakan. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita diajak ikut.
“Biar kaum wanita bertugas membakar kemarahan dan mengingatkan kepada korban-korban Badar. Kita adalah masyarakat yang sudah bertekad mati tidak akan pulang sebelum sempat melihat mangsa kita atau kita sendiri mati untuk itu!”

“Saudara-saudara Quraisy,” demikian sahut yang lain,
“melepaskan wanita-wanita kita ke hadapan musuh bukanlah suatu pendapat yang baik, Apabila kalian mengalami kekalahan wanita-wanita kita pun akan tertawan.”

Tiba-tiba Hindun bin Utbah Istri Abu Sufyan berteriak,

“Kamu yang selamat dari Perang Badar bisa kembali bertemu istrimu, itu sebabnya kamu tidak berjuang mati-matian. Ya kami kaum wanita akan berangkat dan ikut menyaksikan peperangan. Jangan ada orang yang menyerukan pulang seperti gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badar. Mereka disuruh pulang ketika sudah sampai di Juhfah. Akibatnya orang-orang kesayangan kita terbunuh karena tidak ada orang yang dapat memberikan semangat kepada mereka!”

Demikianlah, akhirnya kaum wanita Quraisy diizinkan ikut dalam peperangan. Maka Hindun memanggil Wahsyi seorang budak hitam dari Habasyah. Wahsyi terkenal sebagai pelempar tombak yang lihai.

“Kau akan kuberikan banyak harta jika berhasil membunuh Hamzah,” demikian kata Hindun.

Majikan Wahsyi Jubair bin Mut’im juga berkata,

“Kau juga akan ku bebaskan jika berhasil membunuh Hamzah. Pamanku telah dibunuh orang itu dalam Perang Badar.”

Pasukan Quraisy Berangkat

Setelah semua persiapan matang, pasukan Quraisy pun berangkat. Mereka terdiri atas 3000 orang dengan 3000 unta. 200 di antaranya menunggang kuda dan 700 orang berbaju besi. Di barisan belakang para wanita Mekah dan budak-budak perempuan yang cantik berjalan mengiringi.
Mereka memakai perhiasan-perhiasan indah dengan wewangian semerbak. Di tengah-tengah barisan wanita itu, berjalan Hindun binti Utbah dialah yang memegang komando dari barisan wanita untuk menabuh rebana dan menyanyi.

“Kalian tidak boleh mendekati kami wahai kaum laki-laki,” teriak Hindun. Sorot matanya memancarkan kobaran api.

“Kami bersumpah bahwa kaum laki-laki tidak boleh mendekati kami sebelum mereka menumpas Muhammad dengan semua pasukannya sehingga kami dapat pulang sambil menjinjing kepala Hamzah!”

Rabu, 06 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 91


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Abdullah Bin Ubay

Semua keberhasilan Rasulullah ﷺ itu membuat hati Abdullah bin Ubay berubah semakin sesak karena dengki.

“Jika ini dibiarkan, lenyap sudah impianku untuk menjadi pemimpin Madinah lagi seperti dulu!” demikian pikirnya.
“Aku harus mencari jalan untuk menjauhkan Muhammad dari umatnya.”

Abdullah bin Ubay mulai menyebarkan desas-desus,
“Mengapa Rasulullah ﷺ memberi bagian harta rampasan kepada Utsman bin Affan? Padahal, Utsman tidak ikut ke Perang Badar! Ini pasti karena Utsman lebih dicintai dari kita semua!”

“Namun para sahabat Rasulullah ﷺ segera mendatangi Abdullah bin Ubay dan memberinya peringatan agar tidak menyebarkan desas-desus.

“Utsman sudah berkeras ingin pergi, tetapi Rasullullah ﷺ memerintahkan agar tinggal di rumah dan merawat Rukayah, putrinya yang sedang sakit! Jadi, sebenarnya Utsman juga berhak atas rampasan perang!” demikian kata beberapa sahabat.

Abdullah bin Ubay terdiam, tetapi ia pun mencari jalan lain. Kemudian disebarkannya desas-desus,
“Muhammad itu mengajarkan agar kita berpaling dari harta dunia, tapi sebenarnya harta tebusan yang banyak itu ia gunakan untuk makan dan minum enak serta memiliki perabotan rumah yang mewah layaknya Kaisar Persia!”

Sambil menebarkan desas desus itu Abdullah bin Ubay diam-diam mendatangi seorang wanita Anshor dan menyuruhnya memberikan permadani yang indah dan sangat mahal kepada Aisyah.
Tanpa ada rasa curiga, Aisyah yang masih muda dan lugu pun menerimanya dengan senang.

Ketika Rasulullah ﷺ mendengar berita ini, beliau segera pulang dan menemui istrinya Aisyah yang sedang duduk-duduk di atas permadani yang mahal itu. Wajah Aisyah berseri-seri memiliki perabotan seindah itu.

“Aisyah, apa ini?” tanya Rasulullah ﷺ

“Seorang wanita Anshor datang ke sini dan melihat tikarmu,” jawab Aisyah.
“Ia kemudian mengutus orang agar menyampaikan permadani ini kepadaku.”

Rasulullah ﷺ menyuruh Aisyah untuk mengembalikan permadani itu. Kemudian beliau tidur di atas tikarnya yang biasa kembali.

Abdullah bin Ubay walaupun telah menyatakan diri sebagai Muslim dia tetap bersikap keras kepada Rasulullah ﷺ, dan menganggap Rasulullah tidak adil karena dianggap telah merampas kekuasaannya yang dipegangnya sebelum Rasulullah ﷺ datang ke Madinah.

Abdullah bin Ubay pun selalu berusaha memalingkan manusia dari ajaran Islam.

Tidur di atas Tikar

Umar Bin Khattab bergegas mendatangi rumah Rasulullah ﷺ. Ia ingin membuktikan bahwa desas-desus yang disebarkan orang tentang Rasulullah ﷺ yang memiliki perabot mewah itu sama sekali tidak benar.

Ketika Umar sampai di rumah Rasulullah ﷺ, sama sekali tidak dilihatnya perabot-perabot mewah yang didesas-desuskan itu. Rumah Rasulullah ﷺ tetap seperti dulu, tidak ada sama sekali yang berubah.

Mengetahui Umar Bin Khattab datang, Rasulullah ﷺ bangun dari atas tikarnya. Seketika itu, Umar melihat bekas-bekas tikar yang kasar membekas pada tubuh Rasulullah ﷺ. Tidak kuat menahan haru akhirnya Umar menangis.

Rasulullah ﷺ berpaling heran lalu beliau bertanya lembut,

“Ya Umar, Apa yang menyebabkan engkau menangis?”

“Bagaimana aku tidak akan meneteskan air mata jika aku melihat bekas-bekas tikar itu melekat pada tulang rusukmu. Hanya inilah harta kekayaanmu yang aku tahu. Sedangkan Kaisar Romawi dan Persia hidup dalam gelimangan harta benda.”

Rasulullah ﷺ merasakan betul kesedihan Umar. Beliau lalu menghibur Umar dengan memberikan pelajaran bahwa nilai seseorang tidaklah ditentukan oleh harta kekayaan yang dimilikinya, tetapi tergantung pada kemampuannya untuk menyebarkan kebahagiaan kepada orang lain. Kebajikan akan membuat seseorang menjadi kekal. Orang yang terus-menerus melakukan kebaikan, akan menghasilkan buah kebaikan pula untuk selama-lamanya.

Sabda Rasulullah ﷺ agar kita selalu bersyukur:

“Apabila di antara kamu sekalian melihat orang yang dianugerahi harta dan rupa, maka hendaklah ia melihat orang yang lebih rendah dari mereka, karena hal itu lebih pantas agar kamu tidak merasa kekurangan nikmat yang Allah berikan kepadamu.”

Senin, 04 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 90


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد


Tim itu kemudian kembali, Ketika itu Al Haris bin Aus terkena ujung pedang sebagian sahabatnya sehingga terluka dan mengucurkan darah.
Setelah tiba di Hurrotul Aridl, ternyata Al Haris tidak ada di tengah-tengah mereka. Mereka kemudian mencarinya, lalu mereka gotong.

Setelah tiba di Baqi’ Gharqad, mereka bertakbir dan takbir mereka didengar oleh Rasulullah ﷺ . Sehingga, beliau mengetahui bahwa mereka telah berhasil membunuh Kaab, dan beliau kemudian bertakbir.

Setelah mereka sampai di hadapan beliau, beliau berkata,

“Wajah kalian berseri-seri.”

“Wajah Anda juga wahai Rasulullah.” sahut mereka.

Mereka meletakkan kepala sang thaghut tersebut di hadapan beliau, dan beliau memuji Allah atas terbunuhnya sang Thoghut itu. Beliau kemudian mengobati luka Al Haris dan sembuh seketika itu juga.

Setelah orang-orang Yahudi mengetahui kematian pemimpinnya, Kaab bin Asyraf, mereka sangat ketakutan. Mereka baru menyadari bahwa Rasulullah ﷺ tidak segan-segan untuk menggunakan kekuatan ketika nasehat sudah tidak diindahkan lagi oleh orang-orang yang ingin menghancurkan keamanan, menimbulkan keresahan, dan tidak menghormati perjanjian.

Mereka tidak berani bertindak sesuka hati, Bahkan mereka menunjukkan sikap seolah-olah mentaati perjanjian. Mereka bersembunyi di benteng bagaikan ular yang terburu-buru masuk ke dalam liangnya untuk bersembunyi.

Demikianlah untuk sementara waktu Rasulullah ﷺ dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam menghadapi berbagai bahaya yang kemungkinan muncul di luar Madinah. Beban kaum muslimin semakin berkurang, sebagian besar masalah-masalah intern mereka telah terselesaikan.


Ekspedisi Zaid Ibnul Harits

Ekspedisi ini merupakan operasi militer yang terakhir dan paling berhasil yang dilakukan oleh kaum muslimin sebelum Perang Uhud. Peristiwa ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir Tahun ketiga Hijrah.

Urutan peristiwa tersebut adalah kaum Quraisy selalu dirundung kesedihan setelah terjadinya peristiwa Badar. Ketika tiba musim panas dan musim dagang Islam telah dekat, mereka dirundung kesedihan yang lain yakni perniagaannya merasa terancam.

Safwan Bin Umayyah berkata kepada orang-orang Quraisy,

“Muhammad dan para sahabatnya telah merintangi perniagaan kita. Kita tidak tahu apa yang harus kita perbuat terhadap mereka, karena mereka tidak membiarkan daerah pantai. Penduduk daerah pantai berdamai dengan mereka, dan sebagian besar dari mereka telah memeluk Islam. Kita tidak tahu cara menanggulangi, apa yang dapat ditempuh kalau kita tetap tinggal dirumah.
Modal kita akan habis dimakan, sementara penghidupan kita di Mekkah tergantung pada perniagaan kita ke Syam di musim panas dan ke Habasyah di musim dingin.”

Terjadilah dialog sekitar topik tersebut. Al Aswad bin Abdul Muthalib berkata kepada Sofwan,

“Tinggalkan jalan lewat daerah pantai, dan ambillah jalan lewat Irak.”

Jalan lewat Irak merupakan jalan yang panjang melewati Najad sampai ke Syam, dan melewati sebelah timur Madinah. Orang-orang Quraisy sangat tidak mengetahui jalur tersebut, maka Al Aswad bin Abdul-Muththalib menyarankan agar menjadikan Farat bin Hayyan dan Bani Bakar bin Wa’il sebagai pemandunya, dan dia sendiri adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut.

Berangkatlah kafilah Quraisy dipimpin oleh Safwan bin Umayyah lewat jalan baru. Namun berita tentang keberangkatan kafilah ini telah sampai ke Madinah. Sebab Khalid bin an-Nu’man telah masuk Islam. Dia bertemu dengan Nu’aim Bin Masud Al Asyja’i (ketika itu belum memeluk Islam) di sebuah tempat minum khamr (ketika itu khamr belum diharamkan) Dalam kesempatan tersebut Shalith bin Nu’man mendengar informasi dari Nu’aim bin Mas’ tentang perjalanan kafilah Quraisy. Maka Salith bin Numan segera menghadap Nabi ﷺ menyampaikan informasi yang didengarnya.

Rasulullah ﷺ segera menyiapkan pasukan yang terdiri atas 100 personil lengkap dengan kendaraannya di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah al Kilabi. Zaid pun segera berangkat, dan di daerah Najad yakni di Qordah, Zaid berhasil menyergap kafilah yang sedang lengah.

Zaid berhasil menguasai mereka, sedangkan Shafwan dan para pengawalnya melarikan diri tanpa perlawanan.

Kaum muslimin menawan pemandu kafilah, yaitu Farrat bin Hayyan. Dikatakan pula bahwa kaum muslimin juga menangkap 2 orang yang lain. Mereka mengangkut bahan ghanimah besar berupa perak dan barang-barang berharga lainnya, yang diangkut oleh kafilah semua. Barang itu nilainya sekitar 100.000.

Rasulullah ﷺ membagi-bagikan barang-barang ghanimah tersebut kepada para personil ekspedisi itu, setelah beliau ambil seperlimanya, Farrat bin Hayyan akhirnya masuk Islam di hadapan Rasulullah ﷺ

Peristiwa itu merupakan tragedi dan bencana besar bagi orang-orang Quraisy, sehingga mereka semakin resah dan bertambah sedih. Di hadapan mereka tidak ada jalan kecuali dua pilihan:

  • Menghentikan kesombongan dan mengambil langkah perdamaian dengan kaum muslimin
  • Menempuh langkah peperangan untuk mengembalikan kewibawaan mereka dan melumpuhkan kekuatan kaum muslimin.

Namun mereka memilih langkah yang kedua sehingga tekat mereka semakin kuat untuk melakukan tindakan pembalasan.
Mereka giat mengadakan persiapan guna menghadapi kaum muslimin dengan kekuatan maksimal, semua itu, merupakan penyebab terjadinya Perang Uhud.


Bersambung... 

Minggu, 03 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 89


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد


Rasulullah ﷺ mengizinkan Muhammad bin Maslamah mengatakan apa saja yang ia ingin katakan kepada Ka’ab bin Al Ashraf.

Muhammad bin Maslamah kemudian mendatangi Ka’ab bin Al Ashraf dan mengatakan,

“Orang itu (yakni Muhammad ﷺ ) meminta shodaqoh kepada kami. Dia sangat memberatkan kami.”

Ka’ab berkata:
“Rupanya, engkau telah bosan kepadanya.”

Muhammad bin Maslamah berkata,

“Kami telah mengikuti dia, dan kami tidak ingin meninggalkannya sampai kami melihat sendiri bagaimana akhir persoalannya nanti. Kami menginginkan engkau bersedia memberi pinjaman kepada kami satu atau dua wasaq (satu wasaq kurang lebih sama dengan 60 gantang).”

“Baiklah tetapi engkau harus memberikan barang jaminan kepadaku,” jawab Ka’ab.

Muhammad bin Maslamah berkata,
“Jaminan apa yang kau inginkan?”
“Berikanlah istri-istri kalian kepadaku sebagai jaminan,” jawab Ka’ab.

Muhammad bin Maslamah berkata,
“Bagaimana mungkin kami menyerahkan istri-istri kami sementara engkau adalah orang yang paling tampan.”

“Kalau begitu, Serahkanlah anak-anak kalian kepadaku,” sahut Ka’ab.

Muhammad bin Maslamah berkata,
“Bagaimana mungkin kami menyerahkan anak-anak kami sebagai jaminan. Mereka akan mencela karena digadaikan dengan satu atau dua wasaq. Ini adalah aib bagi kami. Kami akan menyerahkan senjata saja kepadamu sebagai barang jaminan.”

Selanjutnya ia berjanji akan datang lagi kepada Ka’ab

Abu Na’ilah juga melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Muhammad bin Maslamah. Dia mendatangi Ka’ab bin Al Ashraf dan mengalunkan beberapa syair sejenak, lalu berkata,

“Wahai Ibnul Ashraf aku datang kepadamu untuk suatu keperluan. Aku akan mengatakannya hanya kepadamu, tetapi rahasiakanlah.”

Ka’ab menjawab, “Baik akan kurahasiakan.”

Abu Nailah berkata, “Kedatangan orang itu (yakni kedatangan Muhammad ﷺ di Madinah) membawa bencana bagi kami. Kami dimusuhi oleh orang-orang Arab, kami diisolasi, kami hidup serba susah, sehingga kami dan keluarga harus bekerja membanting tulang.”

Selanjutnya saling dialog seperti dialog antara Ka’ab dan Muhammad bin Maslamah.
Di sela-sela pembicaraannya itu, Abu Nailah mengatakan,

“Sesungguhnya aku bersama para sahabatku yang sependapat dengan aku. Aku ingin membawa mereka kepadamu, lalu engkau memberi mereka yang berlaku baik dalam hal tersebut.”

Dalam dialog tersebut Muhammad bin Maslamah dan Abu Naila telah berhasil mencapai apa yang diinginkannya. Karena setelah dialog tersebut Ka’ab tidak mencurigai senjata dan para sahabat yang mereka bawa.

Pada malam bulan purnama, malam ke 14 dari bulan Rabiul awal tahun ke-3 Hijriyah, tim tersebut berkumpul menghadap Rasulullah ﷺ , beliau kemudian mengantar mereka sampai ke Baqi’ Gharqad, lalu mengarahkan mereka dengan mengatakan,

“Berangkatlah atas nama Allah. Ya Allah, tolonglah mereka.”
Setelah itu beliau pulang dan terus melakukan sholat dan bermunajat kepada Rabbnya.

Tim itu pun tiba di benteng (tempat tinggal Ka’ab bin Al Ashraf) Abu Na’ila kemudian memanggilnya, dan Ka’ab pun bangkit untuk mendatangi mereka.
Istrinya berkata,

“Mau kemana pada saat seperti ini? Aku mendengar seperti suara yang dapat meneteskan darah.”

Ka’ab berkata,
“Ia adalah saudaraku, Muhammad bin Maslamah dan saudara susuku Abu Na’ilah. Sesungguhnya orang yang mulia itu apabila dipanggil untuk bertempur, pasti bersedia menghadapinya.”

Kemudian ia keluar menemui mereka dengan pakaian yang harum semerbak.

Abu Na’ilah telah berkata kepada para sahabatnya,

“Apabila ia telah datang, aku akan membelai rambutnya dan menciumnya. Dan apabila kalian melihat aku telah dapat memegang kepalanya, renggutlah dan bunuhlah dia.”

Ka’ab pun datang menghampiri mereka dan berbicara sejenak, kemudian Abu Na’ilah berkata,

“Wahai Ibnu Ashraf, bagaimana kalau kita berjalan jalan di jalanan kampung untuk berbincang-bincang menghabiskan malam-malam kita?”

“Baiklah jika kalian menghendaki,” jawab Ka’ab bin Asyrof.

Mereka kemudian keluar untuk berjalan-jalan, di tengah perjalanan Abu Nailah berkata,

“Aku belum pernah melihat engkau seharum pada malam ini.”

Kaab bangga mendengar pujian seperti itu, dan ia berkata,
“Aku mempunyai parfum wanita-wanita Arab.”

Abu Na’ilah berkata, “Bolehkah aku mencium kepalamu?” ”

“Boleh,” jawab Kaab.

Abu Na’ilah kemudian membelai kepala rambut Ka’ab dan menciumnya, demikian pula para sahabatnya.

Kemudian berjalan sejenak, lalu berkata,
“Bolehkah aku mengulanginya lagi?”

“Silahkan,” jawab Kaab.

Abu Na’ilah pun membelai rambutnya, dan tatkala sudah dapat memegangnya, ia berseru,

“Renggutlah musuh Allah ini!”

Seketika itu juga pedang-pedang mereka merenggutnya tetapi tidak memberikan manfaat sedikit pun.

Lalu Muhammad bin Maslamah mengambil sebilah pedang dan dia letakkan di bagian bawah perut lalu dia tekan sampai menembusnya.
Kaab pun terkapar dan mati seketika. Ketika itu Kaab meraung keras sehingga dapat membuat ketakutan orang-orang yang berada di sekitarnya. Tidak lama kemudian, semua lampu dalam benteng dinyalakan.


Bersambung... 

Sabtu, 02 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 88


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد


Perang Dzi Amar

Peperangan ini merupakan operasi militer terbesar yang dipimpin Rasulullah ﷺ , sebelum Perang Badar. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram tahun ketiga Hijriah.

Faktor penyebabnya adalah intelijen Madinah menyampaikan berita kepada Rasulullah ﷺ , bahwa ada sekelompok besar dari bani Tsa’labah dan Maharib berkumpul untuk melancarkan serangan di pinggiran Madinah. Maka Rasulullah ﷺ mendorong kaum muslimin untuk keluar berperang, Kemudian keluarlah Beliau membawa 450 tentara yang berkendaraan maupun yang berjalan kaki. Beliau menyerahkan urusan Madinah kepada Utsman bin Affan.

Di tengah-tengah perjalanan, mereka menangkap seseorang dari Bani Tsa’labah bernama Jabbar. Ia pun dibawa kepada Rasulullah ﷺ . Lalu Beliau menyerukan Islam kepada-nya, dan ia pun masuk Islam.

Kemudian dibolehkan bergabung bersama Bilal dan menjadi penunjuk jalan pasukan kaum muslimin menuju daerah musuh.

Musuh bercerai-berai di puncak-puncak gunung, ketika mendengar kedatangan pasukan kaum Muslimin. Nabi ﷺ bersama pasukannya sampai di tempat berkumpulnya mereka, yaitu di Dzi Amar.

Di sana beliau tinggal selama sebulan penuh, Bulan Safar tahun ketiga Hijriah, untuk menunjukkan kekuatan kaum muslimin kepada orang-orang Arab Badui dan agar mereka merasa takut. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.


Pembunuhan Ka’ab Bin Al Asyraf

Ka’ab bin Al Asyraf adalah seorang Yahudi yang paling keras memusuhi Islam dan kaum muslimin, paling keras gangguannya kepada Rasulullah ﷺ dan menyerukan untuk memerangi beliau.

Ka’ab bin Al Asyraf berasal dari kabilah Thai’ dari bani Nabhan dan ibunya dari bani Nadhir. Ia adalah seorang yang kaya raya, di kalangan orang-orang, terkenal dengan ketampanannya dan juga seorang penyair.

Bentengnya terletak di sebelah tenggara Madinah di belakang perkampungan Bani Nadhir.

Ketika pertama kali mendengar berita tentang kemenangan kaum muslimin dan terbunuhnya para pemimpin Quraisy di Badar ia berkata,

“Apakah berita ini benar? Mereka itu adalah para pemimpin orang-orang Arab dan raja manusia. Demi Allah, seandainya Muhammad dan para sahabatnya berhasil menundukkan mereka, perut bumi ini sungguh lebih baik daripada punggungnya.”

Tatkala kebenaran berita tersebut sudah dapat dipastikan, musuh Allah tersebut tergerak untuk mencaci Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin, memuji musuh-musuh kaum Muslimin, dan membangkitkan mereka untuk memusuhi kaum Muslimin.

Ia tidak puas dengan sekedar berbuat seperti itu, sehingga ia pun mendatangi orang-orang Quraisy dan singgah di tempat Al Muthalib Bin Abi Wada’ah al Sahmi. Di sana ia mengalunkan syair-syair ratapan para korban Badar dari kaum musyrikin yang dimasukkan ke dalam sebuah sumur Badar.

Dengan demikian ia dapat membangkitkan kemarahan anak cucu mereka dengan kedengkian mereka terhadap Nabi ﷺ, serta mengajak mereka untuk memeranginya.

Ketika berada di Mekah, Ka’ab ditanya oleh Abu Sufyan dan kaum musyrikin,

“Mana yang lebih engkau sukai, agama kami atau agama Muhammad dan para sahabatnya? Dan manakah yang benar jalan kami ataukah Muhammad dan para sahabatnya?

Ka’ab menjawab, “Kalian lah yang lebih benar jalannya dan lebih baik.

Kemudian turunlah firman Allah ta’ala:

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ أُوتُواْ نَصِيبٗا مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡجِبۡتِ وَٱلطَّٰغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُواْ هَٰٓؤُلَآءِ أَهۡدَىٰ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ سَبِيلًا 


Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. (Surah An-Nisa’ (4:51))

Kemudian Ka’ab kembali ke Madinah dalam keadaan demikian. Di dalam syair-syairnya mulai berani merayu-rayu istri-istri para sahabat dan menyakiti para sahabat dengan kelancangan lidahnya yang keras.

Ketika itulah Rasulullah ﷺ berkata,
“Siapakah yang bersedia membunuh Ka’ab bin Al Asyraf? Sungguh ia telah menyakiti Allah dan RasulNya”

Maka Muhammad bin Maslamah bangkit dan mengatakan,
“Saya, wahai Rasulullah. Apakah Engkau suka apabila saya membunuhnya?”

“Ya,” jawab Beliau.

Muhammad bin Maslamah mengatakan,
“Ijinkan aku mengatakan sesuatu (kepadanya).”

“Katakanlah,” sahut Beliau.


Bersambung...

Jumat, 01 Mei 2020

Kisah Rasulullah ﷺ #Bagian 87


اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Kemudian kaum muslimin mengepung mereka dengan ketat yaitu pada hari Sabtu pertengahan bulan Syawal tahun kedua Hijrah.

Pengepungan itu berlangsung selama 15 hari sampai awal bulan Dzulqaidah. Allah timpakan rasa takut ke dalam hati mereka.

Akhirnya mereka menyerah dan bersedia menerima hukumannya yang akan diputuskan oleh Rasulullah ﷺ menyangkut budak, harta, istri, dan anak keturunan mereka.

Ketika itu Bangkitlah Abdullah bin Ubay bin Salul memainkan peran kemunafikannya. Dia mendesak Rasulullah ﷺ agar memaafkan mereka, dengan mengatakan,

“Wahai Muhammad perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik”. (Mereka adalah para sekutu kabilah Khazraj yang salah seorang pemimpin nya adalah Abdullah bin Ubay).

Permintaannya itu tidak ditanggapi oleh Rasulullah ﷺ . Abdullah bin Ubay mengulangi permintaannya tetapi beliau berpaling darinya, sambil memasukkan tangannya ke dalam baju besinya lalu berkata kepadanya,

“Tinggalkan aku!” Beliau marah dan wajahnya tampak berubah, lalu berkata lagi,
“Celakalah kau, tinggalkan aku!”

Tetapi sang munafik tersebut tetap saja pada keinginannya dan berkata,

“Tidak, demi Allah aku tidak akan meninggalkan Engkau sebelum Engkau memperlakukan para sahabatku itu dengan baik.”

“400 orang tanpa perisai dan 300 orang bersenjata lengkap yang telah membelaku terhadap semua musuh-musuhku itu, apakah Engkau habisi nyawanya dalam waktu sehari? Demi Allah aku betul-betul menghawatirkan terjadinya bencana itu.”

Rasulullah ﷺ memperlakukan si munafik tersebut yang baru sebulan menampakkan keislamannya dengan memberikan perhatian kepadanya.
Dia serahkan orang-orang Yahudi itu kepadanya dengan syarat mereka harus keluar dari Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota Madinah.

Mereka pun keluar menuju daerah di sekitar Syam, dan tidak lama kemudian sebagian besar dari mereka meninggal dunia.

Rasulullah ﷺ menerima harta kekayaan mereka. Dari harta tersebut beliau mengambil tiga keping uang, dua baju besi, tiga pedang, tiga tombak, dan seperlima ghanimah. Orang yang bertanggung jawab mengumpulkan ghanimah adalah Muhammad bin Maslamah.


Perang Sawiq

Ketika Shafwan bin Umayyah, orang-orang Yahudi, dan orang-orang munafik melakukan makar, Abu Sufyan berfikir untuk melakukan suatu tindakan yang kecil resikonya, tetapi jelas pengaruhnya.

Ia berupaya untuk segera melakukan tindakan untuk memelihara kedudukan kaumnya, dan menunjukkan kekuatan mereka.

Abu Sufyan bernazar tidak akan membasahi rambutnya dengan air karena junub sebelum menyerang Muhammad. Maka ia pun keluar membawa 200 tentara untuk memenuhi nadzarnya.

Mereka tiba di suatu terusan yang menghadap ke gunung Naib, dari Madinah sekitar satu barid atau 12 mil. Tetapi ia tidak berani menyerang Madinah secara terang-terangan.

Ia melakukan suatu tindakan seperti tindakan pembajakan yaitu memasuki pinggiran Madinah secara sembunyi-sembunyi di tengah-tengah kegelapan malam.

Dia mendatangi Huyai bin Al-Khattab dan meminta dibukakan pintu, namun Huyai tak mau dan merasa ketakutan. Kemudian ia mendatangi Salam bin Musykam, pemimpin Bani Nadlir pada saat itu.

Setelah meminta izin ke Salam bin Musykam, Ia pun diberi izin, diberi minum khamer dan memperoleh informasi tentang keadaan kaum muslimin pada saat ini darinya.

Kemudian pada malam itu juga Abu Sufyan keluar dan menemui para sahabatnya, lalu mengutus satu pasukan dari mereka dan menyerang suatu tempat di pinggiran kota Madinah yang bernama Aridl.

Mereka menebang dan membakar beberapa pohon kurma dan di sana mereka membunuh seorang lelaki Anshor dan sekutunya yang sedang berada di kebun mereka. Setelah itu mereka melarikan diri ke Mekah.

Peristiwa tersebut sampailah ke telinga Rasulullah ﷺ. Lalu Beliau segera mengejar Abu Sufyan dan kawan-kawannya.

Akan tetapi, mereka segera melarikan diri dengan sangat cepat, mereka melemparkan bekal makanan mereka yang berupa tepung (sawiq) dalam jumlah yang banyak untuk memperingan beban dan agar dapat lari lebih cepat lagi.

Rasulullah ﷺ pun sampai di Qarqaratul Kadar, kemudian kembali pulang, dan kaum muslimin membawa tepung (sawiq) yang dilemparkan oleh orang-orang kafir itu. Sehingga peristiwa ini dinamakan dengan perang sawiq.

Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzulqaidah tahun kedua Hijriyah dua bulan setelah peristiwa Badar.

Dalam perang ini Rasulullah menyerahkan urusan Madinah kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.


Bersambung...



Fast, Reliable Web Hosting