اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد
Nama Yatsrib Menjadi Madinah
Yatsrib berasal dari nama Yatsrib bin Mahlail. Ia adalah keturunan raja-raja Amaliqah yang dahulu pernah berkuasa di kota itu. Setelah Rasulullah hijrah, beliau mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah.
Cuaca di Kota Madinah sangat kering. Pada musim dingin suhunya sangat rendah dan pada musim panas suhunya jauh lebih panas dari pada Mekah. Banyak sahabat Muhajirin yang tidak kuat dengan cuaca tersebut dan jatuh sakit. Mereka dilanda demam tinggi yang melemahkan tubuh. Abu Bakar, Bilal, dan Amir bin Fuhairah termasuk yang jatuh sakit.
Saat sakit, Abu Bakar sering berkata,
“…..mati itu lebih dekat dari pada tali sepatu kita.”
Sementara itu, Bilal tidak suka berkata apa-apa jika sedang sakit. Namun, ketika sakitnya hilang, ia sering menangis karena merindukan Mekah sambil berkata,
“Apakah aku dapat berjalan malam hari di lembah yang di sekelilingku ada pohon-pohon idzkir dan jalil (nama pohon yang banyak terdapat di Mekah). Dan apakah pada suatu hari aku dapat sampai lagi ke tempat air Majinnah dan apakah dapat terlihat lagi olehku Gunung Syamah dan Gunung Thafil (dua buah gunung dekat Mekah).”
Akan halnya dengan Amir bin Fuhairah, jika menderita demam tinggi sering bersyair,
“Sungguh aku mendapati mati sebelum merasakannya….”
Rasulullah ﷺ amat prihatin dengan sakit beberapa orang sahabat akibat cuaca panas tersebut. Beliau juga mendengar keluhan-keluhan mereka. Karena itu, Rasulullah ﷺ pun berdoa kepada Allah ﷻ,
“Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta pada Kota Madinah sebesar rasa cinta kami pada Mekah, atau bahkan lebih! Ya Allah ﷻ, berilah berkah pada pekerjaan kami untuk mencari nafkah, sehatkanlah Kota Madinah ini untuk kami, dan pindahkanlah panasnya ke tempat lain yang Engkau kehendaki.”
Allah ﷻ mengabulkan doa Rasulullah ﷺ itu dan memindahkan panas Kota Madinah ke Dusun Juhfah yang letaknya 82 mil dari Madinah.
Selain berdoa dan mengatasi masalah cuaca, Rasulullah ﷺ pun melakukan hal lain yang sangat indah agar kaum Muhajirin yang berasal dari Mekah tumbuh rasa cintanya pada Madinah.
Tabarruk
Tabarruk adalah mengaharapkan berkah.
Suatu ketika, saat Rasulullah ﷺ tidur, datanglah Ummu Sulaim. Melihat keringat Rasulullah ﷺ yang sangat harum menetes, Ummu Sulaim menadahnya. Tidak lama kemudian, Rasulullah ﷺ bangun dan bertanya,
“Apa yang sedang kamu lakukan, wahai Ummu Sulaim?”
Ummu Sulaim menjawab,
“Kami mengharap berkahnya untuk anak-anak kecil kami,”
Rasulullah ﷺ kemudian berkata, “Engkau benar.”
Saling Bersaudara
Suatu hari, Rasulullah ﷺ mengumpulkan para sahabat Muhajirin dan Anshar. Di hadapan mereka, beliau bersabda,
“Hendaklah kalian bersaudara dalam agama Allah dua orang – dua orang.”
Para sahabat saling pandang. Beberapa di anatara mereka tersenyum. Kemudian, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Hamzah bin Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya, bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, putra angkat Rasulullah.”
Kemudian Rasulullah ﷺ menyebut nama-nama sahabat lain yang saling dipersaudarakan. Seorang Muhajirin dipersaudarakan dengan seorang dari Anshar. Tercatat dalam sejarah, ada seratus orang yang saling dipersaudarakan. Lima puluh dari Anshar dan lima puluh dari Mihajirin.
Tujuan Rasulullah ﷺ mempersaudarakan para sahabatnya adalah untuk menghilangkan rasa asing dalam diri sahabat Muhajirin di Kota Madinah. Selama itu, persaudaraan ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa semua orang Islam bersaudara. Selain itu, juga agar setiap Muslim menjadi saling menolong yang kuat menolong yang lemah, yang mampu menolong yang kekurangan.
Buah persaudaraan ini akan dirasakan terus selama tahun-tahun sulit yang kelak ditempuh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya di Madinah. Ternyata, kalangan Anshar memperlihatkan sikap ramah yang luar biasa kepada saudara-saudara Muhajirin mereka.
Sudah sejak semula golongan Anshar menyambut gembira kaum Muhajirin. Mereka begitu mengerti bahwa kaum Muhajirin meninggalkan segala yang mereka miliki, termasuk harta benda dan seluruh kekayaan di Mekah. Sebagian besar dari mereka memasuki Madinah dengan perut lapar tanpa ada lagi yang dapat dimakan. Apalagi mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan.
Tentu saja sebagai kaum yang berbudi, kaum Muhajirin tidak begitu saja terlena dengan bantuan saudara-saudara Anshar mereka. Kaum Muhajirin berusaha melakukan banyak pekerjaan agar mereka bisa kembali mandiri secepatnya.
Persaudaraan Sejati
Aqidah Islamiyah adalah dasar persaudaraan sejati. Tidak mungkin dua orang yang berlainan agama bisa bersaudara seerat dua orang yang sama agamanya. Rasulullah ﷺ menghimpun hati para sahabatnya begitu dekat, sehingga tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali ketakwaan dan amal shalih.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar