Dalam sebuah pengajian, seorang guru ngaji menyampaikan pesan yang dianalogikan dengan seekor monyet. Monyet, katanya, apabila menghadapi badai sedasyat apapun tidak akan terjatuh dari pohon, hal ini dikarenakan monyet akan memegang erat-erat batang pohon tempatnya berpijak, dan justru Monyet akan terjatuh dari pohon karena angin yang sepoi-sepoi.
Kita sering berdoa kepada Sang Pencipta, Allah SWT, ketika ujian datang dan akan mengendurkan do’a ketika ujian tersebut sudah lewat.
Sudah seharusnya kita sebagai umat-Nya, ada ataupun tidak ada ujian, harus tetap berdo’a.
Dalam bahasa Indonesia kata istiqomah sering dipakai berangkai dengan kata lain, misalnya “Ia istiqomah dalam mengikuti pengajian”, “Tetaplah istiqomah mengaji”, “Semoga kita tetap istiqomah dalam beramal”, dan lain-lainnya.
Sudah betulkah kalimat di atas?
Saya rasa kalimat-kalimat di atas benar dan syah-syah saja. Hanya saja sering kali kita mendengar penjelasan lanjutan yang sering mengartikan istiqomah sebagai “konsisten” atau “terus menerus melakukan suatu amalan”, misalnya “istiqomah mengikuti pengajian” diartikan sebagai “konsisten dan tidak meninggalkan mengikuti pengajian selama tidak udzur”. Nah apakah benar kata “istiqomah” diartikan sebagai “konsisten”?.
Kalau kita periksa lebih teliti lagi dari berbagai sumber, ternyata kata “Istiqomah” secara bahasa berarti “tegak dan lurus”. Sedangkan secara istilah, para salafus shalih memberikan beberapa definisi diantaranya :
- Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu : ‘Hendaknya kamu tidak menyekutukan Allah dengan apapun juga’
- Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu : ‘Hendaknya kita bertahan dalam satu perintah atau larangan, tidak berpaling seperti berpalingnya seekor musang’
- Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu : ‘Istiqomah artinya adalah ikhlas’
- Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu : ‘Istiqomah adalah melaksanakan kewajiban’
- Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu : ‘Istiqomah mengandung 3 macam arti : istiqomah dengan lisan (yaitu bertahan terus mengucapkan kalimat syahadat), istiqomah dengan hati (artinya terus melakukan niat yang jujur) dan istiqomah dengan jiwa (senantiasa melaksanakan ibadah dan ketaatan secara terus-menerus).
- Ar Raaghib : ‘Tetap berada di atas jalan yang lurus’ [Istiqomah, Dr. Ahmad bin Yusuf Ad Duraiwisy, Darul Haq]
- Imam An Nawawi : ‘Tetap dalam ketaatan’ (Kitab Riyadhus Shalihin) Sehingga istiqomah mengandung pengertian : ‘tetap dalam ketaatan dan di atas jalan yang lurus dalam beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla’.
- Al-Hasan berkata, 'Istiqamah adalah melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan'.
- Mujahid berkata, 'Istiqamah adalah komitmen terhadap syahadat tauhid sampai bertemu dengan Allah Taala'.
- Ibnu Taimiah berkata, 'Mereka beristiqamah dalam mencintai dan beribadah kepada-Nya tanpa menoleh kiri kanan'.Dengan kata lain istiqomah mengandung suatu arti mendalam dalam beribadah kepada-Nya, mencintai sepenuh hati dalam mencari Ridha-Nya.
Dari definisi-definisi di atas kita bisa menyimpulkan bahwa “istiqomah” tidak tepat diartikan sebagai “konsisten”. Istiqomah lebih tepat jika diartikan “Mengerjakan suatu amalan dengan ikhlas (murni) karena Allah SWT, melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya (bertaqwa), serta dalam teknis pelaksanaan suatu amalan tetap lurus sesuai syari’ah, tidak mencampurkannya dengan sesuatu yang bathil”.
Jadi tatkala kita mengerjakan suatu amalan, maka niat amalan tersebut murni karena Allah, kemudian bersungguh-sungguh dalam mengupayakan dan melaksanakan amalan tersebut sekali lagi semata-mata karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan dalam teknis pelaksanaannya haruslah sesuai dengan ketentuan Allah dan contoh yang diberikan Rasulullah.
Oleh karena itu kata “istiqoma” tidak dapat dirangkai dengan “amalan ma’siat atau dosa”, misalnya ia “istiqomah berjudi”, “dari dulu sampai sekarang ia istiqomah mencuri”, dan lain-lain. Kenapa? Ya karena amalan ma’siat atau dosa tidak mungkin karena Allah, tidak juga diperintahkan Allah, dan dalam pelaksanaannya tidak ada petunjuk dari Allah serta tidak ada contoh dari Rasulullah.
Jadi kata “ia istiqomah dalam bekerja” bisa diartikan sebagai “ia ikhlas bekerja karena Allah, ia bekerja secara sungguh-sungguh untuk mendapatkan rizqi yang halal karena ketaatannya kepada Allah, serta ia bekerja itu tidak melanggar ketentuan-ketentuan Allah, ia bekerja dengan jujur dan rajin sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah”.
Kata-kata “marilah kita tetap istiqomah dalam mengaji” mengandung arti “marilah kita tetap mengaji karena Allah (bukankah Allah memerintahkan untuk selalu menacri ilmu?) dengan lurus ikhlas, sesuai syariah, tidak sampai meninggalkan kewajiban lain yang lebih penting (misalnya bagi ibu-ibu jangan sampai urusan rumah tangga dan anak-anak sampai terabaikan) serta mengamalkan ilmu tersebut”.
Barangkali definisi dan contoh-contoh di atas masih kurang sempurna, tetapi secara garis besarnya “Istiqomah” tidak berarti “konsisten atau terus menerus” melainkan “Tegak, lurus, ikhlas karena Allah dan sesuai syar’I”.
Beberapa makna lain bisa saja dijabarkan, misalnya “istiqomah” diartikan sebagai “lurus dan pertengahan”, sesuai dengan tafsir tentang “Sirathal mustaqim” yang salah satu tafsirnya adalah bahwa jalan lurus itu adalah Agama Islam, bukan agamanya orang-orang yang dimurkai (pembangkang dan sangat duniawi, meninggalkan urusan akhirat, contohnya adalah orang Yahudi) serta bukan jalannya orang yang sesat (yang tidak tahu, tidak mau tahu, terlalu mengejar akhirat dengan meninggalkan dunia contohnya para rahib Nashoro).
Bagaimana menurut Anda? Saya akan berterima kasih jika ada yang memberi tanggapan atau informasi yang lebih akurat tentang makna “Istiqomah” ini.
Wallahu a’lamu bisshowaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar